MULAI saat ini, sebaiknya kita tinggalkan kebiasaan menelepon saat mengendarai kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun mobil.
Jika kita menyayangi diri sendiri, mencintai keluarga dan sesama manusia, jangan menunda kebiasaan buruk yang mengundang maut setiap saat di jalan raya.
Tragedi Musa di Jl Raya Sei Ukoi, Sintang, Kamis 24 Maret 2011, contoh konkret. Jiwa warga Sei Ukoi itu berakhir di usia 25 tahun, hanya karena menelepon saat mengendari motor di jalan.
Konsentrasi Musa hilang hingga menabrak truk yang parkir di pinggir jalan. Musa tewas dengan kondisi mengenaskan.
Bukankah kehidupan yang dikaruniakan Allah teramat indah untuk diisi kegiatan dan amalan bermanfaat bagi sesama maupun semesta alam? Kecerobohan kita menjaga nyawa adalah kerugian tak terkira, baik di dunia maupun setelah mati.
Kita patut mendoakan Musa agar diterima di sisi Allah. Kita juga wajib memetik hikmah tragedi ini. Kebiasaan menelepon atau SMS sambil berkendara, tak hanya terjadi di Sintang. Hampir jadi tren anak muda, bahkan orangtua menelepon sambil berkendara di Kalbar.
Di Kota Pontianak dan Singkawang, tiap hari bisa kita jumpai. Masih kah kita mempertahankan kebiasaan pengundang maut diri sendiri maupun orang lain ini? Semua bergantung kita. Tuhan mungkin memberi umur panjang, namun bukan berarti kita seenaknya mengabaikan keselamatan.
Kita wajib ikhtiar menjaga jiwa. Kematian sia-sia di jalanan Kalbar, sesungguhnya mengerikan. Data Direktorat Lalu Lintas Polda Kalbar mengungkap, betapa seriusnya kecelakaan maut di Bumi Khatulistiwa. Korban tewas akibat kecelakan tahun 2006 mencapai 406 orang. Pada 2007 meningkat 421 korban, 2008 naik lagi 462 korban.
Usaha keras Polda menekan maut di jalanan sedikit membuahkan hasil pada 2009. Angka kematian beringsut turun menjadi 449 orang. Tahun 2010 turun signikan, ‘hanya’ 151 korban tewas. Meski ada sinyal penurunan, ratusan nyawa yang melayang tetap tragedi massif.
Patut disebut bencana kemanusiaan karena perilaku kita sendiri. Mulai ‘berjudi’ dengan menelepon saat berkendara, mengebut, hingga mabuk atau mengantuk. Negara kita telah memberi rambu-rambu keselamatan berlalu-lintas.
Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), melarang penggunaan handphone saat mengemudi. Secara implisit UU mengencam pengendara dengan pidana penjara.
Pasal 283 UU LLAJ menyebutkan, tiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi, dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp 750 ribu.
Pidana dan denda sejatinya tak sebanding jiwa kita, manakala terjadi kecelakaan seperti dialami Musa. Kuncinya diri kita, dan keluarga kita. Orangtua yang menyayangi putra-putrinya, wajib memahamkan anak tentang bahaya maut di jalanan.
Menyelamatkan warga Kalbar dari maut berlalu-lintas, jajaran Polda tak boleh terlalu lama menggunakan pendekatan persuasif edukatif. UU LLAJ urgen ditegakkan sekarang. Tindakan represif, wajib diamalkan demi keselamatan pengendara maupun warga lain di jalanan.
Jika kita menyayangi diri sendiri, mencintai keluarga dan sesama manusia, jangan menunda kebiasaan buruk yang mengundang maut setiap saat di jalan raya.
Tragedi Musa di Jl Raya Sei Ukoi, Sintang, Kamis 24 Maret 2011, contoh konkret. Jiwa warga Sei Ukoi itu berakhir di usia 25 tahun, hanya karena menelepon saat mengendari motor di jalan.
Konsentrasi Musa hilang hingga menabrak truk yang parkir di pinggir jalan. Musa tewas dengan kondisi mengenaskan.
Bukankah kehidupan yang dikaruniakan Allah teramat indah untuk diisi kegiatan dan amalan bermanfaat bagi sesama maupun semesta alam? Kecerobohan kita menjaga nyawa adalah kerugian tak terkira, baik di dunia maupun setelah mati.
Kita patut mendoakan Musa agar diterima di sisi Allah. Kita juga wajib memetik hikmah tragedi ini. Kebiasaan menelepon atau SMS sambil berkendara, tak hanya terjadi di Sintang. Hampir jadi tren anak muda, bahkan orangtua menelepon sambil berkendara di Kalbar.
Di Kota Pontianak dan Singkawang, tiap hari bisa kita jumpai. Masih kah kita mempertahankan kebiasaan pengundang maut diri sendiri maupun orang lain ini? Semua bergantung kita. Tuhan mungkin memberi umur panjang, namun bukan berarti kita seenaknya mengabaikan keselamatan.
Kita wajib ikhtiar menjaga jiwa. Kematian sia-sia di jalanan Kalbar, sesungguhnya mengerikan. Data Direktorat Lalu Lintas Polda Kalbar mengungkap, betapa seriusnya kecelakaan maut di Bumi Khatulistiwa. Korban tewas akibat kecelakan tahun 2006 mencapai 406 orang. Pada 2007 meningkat 421 korban, 2008 naik lagi 462 korban.
Usaha keras Polda menekan maut di jalanan sedikit membuahkan hasil pada 2009. Angka kematian beringsut turun menjadi 449 orang. Tahun 2010 turun signikan, ‘hanya’ 151 korban tewas. Meski ada sinyal penurunan, ratusan nyawa yang melayang tetap tragedi massif.
Patut disebut bencana kemanusiaan karena perilaku kita sendiri. Mulai ‘berjudi’ dengan menelepon saat berkendara, mengebut, hingga mabuk atau mengantuk. Negara kita telah memberi rambu-rambu keselamatan berlalu-lintas.
Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), melarang penggunaan handphone saat mengemudi. Secara implisit UU mengencam pengendara dengan pidana penjara.
Pasal 283 UU LLAJ menyebutkan, tiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi, dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp 750 ribu.
Pidana dan denda sejatinya tak sebanding jiwa kita, manakala terjadi kecelakaan seperti dialami Musa. Kuncinya diri kita, dan keluarga kita. Orangtua yang menyayangi putra-putrinya, wajib memahamkan anak tentang bahaya maut di jalanan.
Menyelamatkan warga Kalbar dari maut berlalu-lintas, jajaran Polda tak boleh terlalu lama menggunakan pendekatan persuasif edukatif. UU LLAJ urgen ditegakkan sekarang. Tindakan represif, wajib diamalkan demi keselamatan pengendara maupun warga lain di jalanan.
Kutipan dari : Banjarmasin Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar